Apakah Hak Cuti Tahunan Pekerja Boleh Dihanguskan oleh Pengusaha? - Hak cuti tahunan mengacu pada UU No.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan pasal 79 ayat (2) diberikan sekurang-kurangnya 12 (dua belas) hari kerja setelah buruh bekerja selama 12 (dua belas) bulan secara terus menerus. Dan terhadap hak cuti tahunan ini sifatnya wajib diberikan oleh pihak pengusaha dan pelaksanaannya dapat diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama. Selanjutnya dalam pasal 93 ayat (2) dijelaskan juga bahwa pengusaha wajib membayarkan upah buruh yang menggunakan hak cutinya.
Dalam UU no.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan lebih lanjut juga diatur sanksi bagi pelanggaran terhadap pemberian hak cuti, seperti dalam pasal 187 ayat (1) dan (2) menetapkan bahwa pelanggaran terhadap pemberian hak cuti merupakan tindak pidana dengan sanksi kurungan dan atau denda.
Berikutnya dalam pasal 186 ayat (1) dan (2) juga diatur tentang pelanggaran terhadap hak mendapatkan upah bagi buruh yang menggunakan hak cutinya, ditentukan sebagai tindak pidana pelanggaran dengan sanksi kurungan dan atau denda.Berdasarkan ketentuan yang berlaku diatas, maka seharusnya hak cuti tahunan yang dimiliki oleh buruh, tidak dapat dihanguskan/dihilangkan oleh pengusaha.
Akan tetapi pada prakteknya, hak cuti tahunan sering kali dihanguskan setelah jangka waktu tertentu, misalnya setelah 6 bulan atau 1 tahun setelah hak cuti tahunan jatuh tempo. Dalam beberapa kasus ditemui perjanjian kerja yang memuat ketentuan mengenai hangusnya hak cuti dan disepakati oleh pekerja/buruh yang bersangkutan. Meskipun secara hukum, berdasarkan asas “lex superior derogat lex inferior” yang berarti pembuatan maupun isi perjanjian kerja tidak boleh melanggar Undang Undang yang lebih tinggi.
Hal ini terjadi disebabkan karena posisi tawar buruh yang lemah akibat tingginya angka pengangguran, maka pelanggaran pun akan diterima sepanjang buruh yang bersangkutan bisa mendapatkan pekerjaan demi kelangsungan hidupnya.
Bahkan banyak perusahaan yang mencantumkan perihal jangka waktu hangusnya cuti tahunan di dalam peraturan perusahaannya dan disahkan oleh Dinas Tenaga Kerja. Persoalan ini merupakan cerminan dari lemahnya posisi tawar buruh, baik secara kolektif maupun individu, serta lemahnya penegakan aturan ketenagakerjaan yang masih diperburuk dengan lemahnya sanksi hukum atas pelanggaran terhadap aturan ketenagakerjaan yang berlaku.
Untuk memperbaiki kondisi ini diperlukan organisasi buruh, yaitu serikat pekerja/buruh untuk memperkuat posisi tawar buruh secara kolektif, kemudian melakukan perundingan dan membuat kesepakatan untuk memperbaiki kondisi kerja secara keseluruhan serta meningkatkan kesejahteraan buruh dalam perusahaan. Serikat buruh juga bertindak sebagai sekolah untuk mendidik buruh menjadi manusia yang berkepribadian-mandiri.
Referensi :
UU no.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaana. istirahat antara jam kerja, sekurang-kurangnya setengah jam setelah beker¬ja selama 4 (empat) jam terus menerus dan waktu istirahat tersebut tidak termasuk jam kerja;
b. istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu atau 2 (dua) hari untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu;
c. cuti tahunan, sekurang-kurangnya 12 (dua belas) hari kerja setelah pekerja/buruh yang bersangkutan bekerja selama 12 (dua belas) bulan secara terus menerus; dan
d. istirahat panjang sekurang-kurangnya 2 (dua) bulan dan dilaksanakan pada tahun ketujuh dan kedelapan masing-masing 1 (satu) bulan bagi pekerja/buruh yang telah bekerja selama 6 (enam) tahun secara terus-menerus pada perusahaan yang sama dengan ketentuan pekerja/buruh tersebut tidak berhak lagi atas istirahat tahunannya dalam 2 (dua) tahun berjalan dan selanjutnya berlaku untuk setiap kelipatan masa kerja 6 (enam) tahun.
g. pekerja/buruh melaksanakan hak istirahat;
Pasal 79
(1) Pengusaha wajib memberi waktu istirahat dan cuti kepada pekerja/buruh.
(2) Waktu istirahat dan cuti sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:
(3) Pelaksanaan waktu istirahat tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
Pasal 93
(1) Upah tidak dibayar apabila pekerja/buruh tidak melakukan pekerjaan.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku, dan pengusaha wajib membayar upah apabila:
Pasal 186
(1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 93 ayat (2), Pasal 137 dan Pasal 138 ayat (1), dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan tindak pidana pelanggaran.
Pasal 187
(1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (2), Pasal 44 ayat (1), Pasal 45 ayat (1), Pasal 67 ayat (1), Pasal 71 ayat (2), Pasal 76, Pasal 78 ayat (2), Pasal 79 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 85 ayat (3), dan Pasal 144, dikenakan sanksi pidana kurungan paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan tindak pidana pelanggaran.
0 komentar